Postingan

Menampilkan postingan dari Mei, 2014

Kasih yang Lembut

Bacaan: 1 Korintus 13:1-13 Kasih itu sabar... (1 Kor. 13:4) Suatu kali ada seorang pemuda duduk di taman bersama ayahnya. Tiba-tiba seekor burung hinggap tak jauh di depan mereka. Sang ayah bertanya, "Apa itu?" Anaknya menjawab, "Itu burung pipit." Tidak lama seekor burung hinggap di sebelah kiri mereka. Sang ayah bertanya, "Apa itu?" Kembali anaknya menjawab, "Ayah, itu burung pipit." Sesaat kemudian seekor burung lain hinggap di sebelah kanan mereka. Sang ayah kembali bertanya, "Kalau itu apa?" Merasa terganggu, sang anak menjawab dengan ketus, "Apa ayah tuli? Berapa kali harus kujawab kalau itu burung pipit?" Lelaki tua itu tersenyum lalu merogoh tasnya mengambil sebuah buku harian tua yang ditulisnya empat puluh tahun lalu. Ia membuka salah satu halamannya dan menyuruh anaknya membaca tulisan yang ada di situ. Di situ tertulis: "Hari ini aku dan anakku duduk di taman. Seekor burung pipit hinggap di deka

Kadang, Diam Itu Emas

Dikisahkan bahwa ada seorang lelaki miskin yang mencari nafkahnya hanya dengan mengumpulkan kayu bakar lalu menjualnya di pasar. Hasil yan g ia dapatkan hanya cukup untuk makan. Bahkan, kadang-kadang tak mencukupi kebutuhannya. Tetapi, ia terkenal sebagai orang yang sabar. Pada suatu hari, seperti biasanya dia pergi ke hutan untuk mengumpulkan kayu bakar. Setelah cukup lama dia berhasil mengumpulkan sepikul besar kayu bakar. Ia lalu memikulnya di pundaknya sambil berjalan menuju pasar. Setibanya di pasar ternyata orang-orang sangat ramai dan agak berdesakan. Karena khawatir orang-orang akan terkena ujung kayu yang agak runcing, ia lalu berteriak, "Minggir... minggir! kayu bakar mau lewat!." Orang-orang pada minggir memberinya jalan dan agar mereka tidak terkena ujung kayu. Sementara, ia terus berteriak mengingatkan orang. Tiba-tiba lewat seorang bangsawan kaya raya di hadapannya tanpa mempedulikan peringatannya. Kontan saja ia kaget sehingga tak sempat me

Mengabaikan Peringatan

Gambar
Bacaan: Ratapan 4:1-22 Hal itu terjadi oleh sebab dosa nabi-nabinya dan kedurjanaan imam-imamnya yang di tengah-tengahnya mencurahkan darah orang yang tidak bersalah. (Rat. 4:13)  Guna mengantisipasi jatuhnya korban jiwa, pemerintah Amerika Serikat memutuskan melakukan evakusi terhadap penduduk di setiap daerah yang terindikasi rawan bencana. Sayangnya niat baik itu terkadang terhalang sikap orang-orang yang keras kepala. Salah satu contohnya terjadi kala badai Sandy menerjang pulau Fire pada November 2012 silam. Karena menolak dievakuasi, sekitar 120 penduduk pulau Fire akhirnya terjebak di pulau saat badai datang menerpa. Banyak bangunan hancur, fasilitas umu lumpuh, pelabuhan dilanda banjir, dan akhirnya mereka harus bertahan hidup dengan air yang tercemar. Setelah mengalami sendiri betapa mengerikannya keadaan yang dihadapi, barulah para warga tersebut setuju dievakuasi menggunakan helikopter. Beruntung, tidak ada warga yang terluka gara-gara insiden ini. Sikap

Persiapkanlah Dirimu

Bacaan: Lukas 12:35-48 Berbahagialah hamba-hamba yang didapati tuannya berjaga-jaga ketika ia datang. (Luk. 12:37) Beberapa tahun lalu saya memiliki seorang rekan yang bernama Andreas. Berbeda dengan kebanyakan pria yang cenderung berantakan, Andreas adalah orang yang rapi. Ia selalu menata dan mempersiapkan setiap kebutuhannya dengan teliti. Mulai dari pakaian yang akan digunakan hari ini, peralatan yang akan dibawa saat rapat dengan pimpinan di kantor, hingga kegiatan apa yang akan dilakukannya saat akhir pekan tiba. Bagi yang tidak terbiasa, sikapnya tersebut mungkin akan sangat menjengkelkan. Akan tetapi justru karena itulah ia mampu melakukan segala pekerjaan dengan baik, dan meninggalkan kesan yang baik pula pada setiap orang yang ditemuinya. Bukan hanya Andreas, kita pun pasti akan mempersiapkan diri sebelum melakukan sesuatu. Misalnya memeriksa bensin sebelum memakai kendaraan, mematut diri di depan cermin sebelum bepergian, atau memeriksa kembali PR kita se

Ciuman Terakhir

Gambar
Rapat Direksi baru saja berakhir. Bob mulai bangkit berdiri dan menyenggol meja sehingga kopi tertumpah keatas catatan-catatannya. "Waduhhh,memalukan sekali aku ini, di usia tua kok tambah ngaco.." Semua orang ramai tertawa. Tidak lama kemudian kami semua mulai bercerita soal saat-saat yang paling menyakitkan di masa lalu dulu. Setelah semua selesai, kini giliran Frank. Ia sejak tadi nampak duduk diam mendengarkan kisah lain-lainnya. "Ayolah Frank, sekarang giliranmu. Cerita apa saat yang paling tak enak bagimu dulu." Frank tertawa, mulailah ia berkisah masa kecilnya. "Aku besar di San Pedro. Ayahku seorang nelayan, dan ia cinta amat pada lautan. Ia punya kapalnya sendiri, meski berat sekali mencari mata pencaharian di laut. Ia kerja keras sekali dan akan tetap tinggal di laut sampai ia menangkap cukup ikan untuk memberi makan keluarga. Bukan cuma cukup buat keluarga kami sendiri, tapi juga untuk ayah dan ibunya dan saudara-saudara lainnya yan

Operator Telepon

Gambar
Waktu saya masih amat kecil, ayah sudah memiliki telepon di rumah kami. Inilah telepon masa awal, warnanya hitam, di tempelkan di dinding, dan kalau mau menghubungi operator, kita harus memutar sebuah putaran dan minta disambungkan dengan nomor telepon lain. Sang operator akan menghubungkan secara manual. Dalam waktu singkat, saya menemukan bahwa, kalau putaran di putar, sebuah suara yang ramah, manis, akan berkata : "Operator". Dan si operator ini maha tahu. Ia tahu semua nomor telepon orang lain! Ia tahu nomor telepon restoran, rumah sakit, bahkan nomor telepon toko kue di ujung kota. Pengalaman pertama dengan sang operator terjadi waktu tidak ada seorangpun dirumah, dan jempol kiri saya terjepit pintu. Saya berputar putar kesakitan dan memasukkan jempol ini kedalam mulut tatakala saya ingat .... Operator!!! Segera saya putar bidai pemutar dan menanti suaranya. " Disini operator..." " Jempol saya kejepit pintu..." kata saya sam

Menghukum tanpa Kekerasan

Gambar
Berikut ini adalah cerita masa muda Dr. Arun Gandhi (cucu dari Mahatma Gandhi) Waktu itu Arun masih berusia 16 tahun dan tinggal bersama orang tua di sebuah lembaga yang didirikan oleh kakeknya yaitu Mahatma Gandhi, di tengah-tengah kebun tebu, 18 mil di luar kota Durban, Afrika selatan. Mereka tinggal jauh di pedalaman dan tidak memiliki tetangga. Tidak heran bila Arun dan dua saudara perempuannya sangat senang bila ada kesempatan pergi ke kota untuk mengunjungi teman atau menonton bioskop. Suatu hari ayah Arun meminta Arun untuk mengantarkan ayahnya ke kota untuk menghadiri konferensi sehari penuh. Dan Arun sangat gembira dengan kesempatan ini. Tahu bahwa Arun akan pergi ke kota, ibunya memberikan daftar belanjaan untuk keperluan sehari-hari. Selain itu, ayahnya juga minta untuk mengerjakan pekerjaan yang lama tertunda, seperti memperbaiki mobil di bengkel. Pagi itu, setiba di tempat konferensi, ayah berkata, "Ayah tunggu kau disini jam 5 sore. Lalu kita aka