Refleksi Diri

"Apa cita-citamu?" Itulah pertanyaan yang kerap ditanyakan banyak orang kepada orang lain yang ditemuinya. Kalau dulu, waktu masih kecil, mungkin kita akan menjawab ingin jadi polisi, tentara, sarjana, atau praktisi diprofesi bergengsi lainnya. Namun seiring berjalannya waktu, jawaban pertanyaan tersebut tidak sesimpel itu.

Untuk jadi seorang polisi, misalnya, kita pasti berpikir tentang berapa tinggi tubuh, nilai akademik, keadaan fisik (punya sakit atau tidak), dan lain sebagainya. Demikian pula jika kita ingin jadi praktisi di bidang lain. Semua ada syaratnya. Tidak begitu saja dapat langsung terwujud.  Istilah modernnya: ada harga yang harus dibayar. Lho kog? Lha iya lah. Kita hidup di dunia modern. Semua harus bayar, tidak ada hal baik atau terbaik yang gratisan.

Kembali soal pertanyaan di atas, "Apa cita-citamu?"

Jika kita mau jujur, untuk meraih suatu cita-cita dibutuhkan lebih dari sekedar impian. Tidak ada orang yang dapat meraih sesuatu atau menjadi sesuatu jika tidak berbuat sesuatu. Sayangnya, banyak orang, dan terkadang kita juga termasuk di dalamnya, lebih suka hidup di alam ilusi.  Lebih suka hidup dalam khayalan dan berkata, "Andai aku menjadi..., andai aku dapat..." tanpa pernah melakukan usaha apapun.

Berbicara tentang usaha meraih impian atau cita-cita, terus terang saya sangat menghargainya. Orang-orang yang bersedia melakukan apapun untuk mewujudkan mimpinya tidak pantas dipandang sebelah mata. Namun demikian, untuk itu kita harus tetap menjadi orang yang memiliki harga diri. Maksud saya, jangan rendahkan diri anda dengan melakukan hal-hal yang tidak pantas (bertentangan dengan nilai-nilai dan norma-norma yang ada di agama dan masyarakat).

Beberapa tahun lalu saya mengenal seorang lelaki yang sangat menyebalkan. Ia menjilat kepada atasannya untuk mendapatkan respek dan posisi yang lebih baik. Padahal hasil kerjanya benar-benar tidak istimewa. Standar saja, rata-rata, bahkan terkadang di bawah standar. tidak jarang ia menindas para bawahannya untuk bekerja, dan kemudian mengklaim diri di depan orang lain untuk prestasi yang bukan hasil karyanya. Bukan hanya itu, ia juga menjadi joki skripsi orang lain dan meminta bayaran cukup tinggi. Meski banyak orang menghormatinya, tetapi saya benar-benar tidak mampu melakukannya. Ia menjual harga diri demi mendapatkan apa yang diingininya.

Sosok orang tersebut di atas benar-benar nyata. Akan tetapi justru sosok serupa itulah yang banyak kita temui di sekitar kita. Seorang rekan saya yang berwirausaha di bidang air mineral pernah bercerita tentang seorang pelamar di perusahaannya. "Perempuan itu benar-benar menjijikkan. Bayangkan, ia menawarkan seks supaya dapat diterima." Sementara itu seorang rekan saya yang lain pernah mengeluh tentang beberapa kompetitor usahanya. "Mereka (para kompetitornya) menjiplak habis karya-karyanya dengan cara-cara licik lalu menjualnya ke pasar. Jadi kalau mereka sekarang dapat berhasil, itu karena mereka melakukan cara-cara kotor secara sistematis."

Cerita tersebut pasti tidak asing di telinga anda. Namun itulah gambaran banyak orang di masyarakat kita. Maunya berhasil tanpa usaha, ingin dihargai tanpa berusaha menghargai orang lain. Jika main belakang pasti berhasil, mengapa bersusah-payah main jujur dengan masuk rumah dari pintu depan? (Anda pasti tahu maksud saya kan?

Bagaimana dengan diri kita? Mari junjung tinggi sportivitas dalam dunia kerja. See you at the top.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Lebih Dari Jawaban Doa

Berkat bagi Bangsa

Tuhan yang Adil