Kisah Penjual Minyak Tanah

Adalah Mang Engkos, penjual minyak tanah langganan kami yang tinggal di desa sebelah, dan telah hampir 12 tahun berdagang. Untuk berjalan keluar dari desanya, menuju desa kami, Mang Engkos harus berjalan kaki sepanjang puluhan kilometer melalui sungai dan lembah.

Dan di rumah kamilah, jarak terjauh Mang Engkos mengantarkan minyak tanahnya. Sehingga biasanya di halaman rumah kami (setelah dia menuangkan minyak tanah ke botol-botol bekas kecap), dia mengaso sejenak, dengan segelas air putih yang kami suguhkan, untuk kemudian dia bergegas pulang. Sebelum pulang biasanya dia mengganti bajunya yang kuyup karena derasnya keringat. Kadang jika saya sedang di halaman, Mang Engkos bercerita bagaimana dia membiayai pendidikan 4 anaknya yang semuanya bersekolah dengan berjualan minyak tanah ini..

Setiap dua hari sekali Mang Engkos selalu membawa dua drum minyak tanah yang dipanggulnya untuk memenuhi kebutuhan desa kami. Uang yang didapatnya tak lebih dari 70 – 80 ribu rupiah.

Ketika desa kami makin maju, mulai banyak penduduk yang hidup cukup mengganti kompor minyak tanah dengan kompor gas.. dan ini tentu saja membuat penghasilan Mang Engkos mulai berkurang. Kadang saya melihat dari dalam rumah, dan merasa iba saat melihatnya menghitung uang yang didapatnya hari itu. 

Meski pelanggan minyak tanah berkurang di desa kami, tak membuat Mang Engkos patah semangat berdagang. Setiap dua hari sekali, dia tetap muncul dengan ter-engah-engah, meski lama-lama dia hanya membawa drum minyak tanah ukuran kecil. Sebagai isteri dari seorang pegawai rendah di kelurahan, meskipun sangat menginginkan kompor gas, tentu saja tak pernah mimpi memilikinya. Jadi Mang Engkos tak perlu khawatir kehilangan pelanggan setianya yang sudah 12 tahun berlangganan minyak tanahnya.

Suatu hari, suami saya pulang dari balai desa dengan wajah yang murung. 

“Saya nggak tahu Ma, ini kabar baik atau kabar buruk..,” kata suamiku sambil termangu.
“Minggu ini, akhirnya Bapak mendapat pembagian kompor gas dari kelurahan,” katanya datar. Saya hampir beteriak senang kalau tak melihat wajah suamiku yang tanpa ekspresi. Saya lalu mengerti kegalauan perasaan suami saya terhadap tukang minyak langganan kami.. 

“Gimana ya Ma, kita mengatakannya sama Mang Engkos??”

Sampai tengah malam, kami belum juga punya jalan keluar.. akhirnya kami putuskan untuk tetap membeli minyak tanah dari Mang Engkos, sambil menanti waktu yang tepat untuk mengatakannya..

Biasa membeli 3 botol, saya mulai mengurangi jadi 2 botol, dan seminggu terakhir malah hanya membeli sebotol setiap kali Mang Engkos datang. 

“Kenapa Bu, Cuma membeli sebotol minyak tanah, sudah jarang masak rupanya,” Kata Mang Engkos. Saya hanya diam saja, pura-pura tak mendengar pertanyaannya.
Sebulan berlalu, botol-botol minyak tanah di dapur pun mulai penuh, karena kami sudah mulai menggunakan kompor gas. Lalu akhirnya kami sepakat untuk bicara berdua pada Mang Engkos karena saya pasti tak tega mengatakannya sendiri. Siang itu kami berdua menanti kedatangannya.

“Pilihin Baju bekas ku yang paling baik Ma.. kenang-kenangan buat Mang Engkos,” kata suamiku. Di wajahnya terlihat dia agak gugup.

Ketika akhrnya Mang Engkos tiba, saya menawarinya makan di dalam.. tapi seperti biasa dia menolak dan hanya duduk di bawah pohon di halaman rumah kami. 
Wajahnya terlihat letih dengan keringat mengucur di sisi kiri-kanan keningnya.

“Mang Engkos, kesini Mang sebentar, Bapak mau bicara, “ panggil ku setenang mungkin. Baju kenang-kenangan buatnya sudah kubungkus rapi.

Lalu terdengar suara suamiku agak bergetar. “Mang Engkos, sebelumnya kami mau minta maaf.. Uhh, eh… ini Mang, terima dulu baju kenang-kenangan dari kami..” kata suamiku tiba-tiba gugup.

“Lho, kok pakai minta maaf .. dan ngerepotin segala, nggak usah kasih baju lah Pak, Bu, saya sudah diijinkan mengaso di depan rumah Ibu dan Bapak saja sudah terimakasih..,” Kata Mang Engkos dengan wajah polos..

Lalu akhirnya suamiku memberanikan diri. “Mang,..sekali lagi kami berdua mau minta maaf, eng… kami, kami sudah mendapatkan pembagian kompor gas dari kelurahan..,” kata suamiku perlahan. Kupandangi wajah Mang Engkos yang pucat dan berkeringat.. bibirnya bergetar lalu mengucapkan kata : “Alhamdulillah.. Ibu Bapak, syukurlah Ibu dan Bapak sekarang memiliki kompor Gas. Saya ikut senang,” terlihat matanya mulai berkaca-kaca..

“Mang..” Kataku tak tega. ”Punten Mang, terpaksa mulai besok kami tidak lagi membeli minyak tanah dari Emang, maaf ya Mang, ” kata ku melanjutkan.

Bibir Mang Engkos yang tadi bergetar, kemudian menyunggingkan senyuman.. 

“Ibu, Bapak tak usah minta maaf. Saya malah bersyukur. Sebetulnya sudah sebulan ini saya tidak lagi berjualan minyak tanah, karena di rumah sekarang sudah buka warung. Di desa ini sudah tak ada lagi yang perlu minyak tanah, kecuali Ibu dan Bapak..Karena itu saya kasihan kalau sampai berhenti mengantarkan minyak, nanti Ibu harus berjalan jauh untuk mendapatkannya. Jadi sebulan terakhir ini saya berjalan ke desa ini, hanya untuk mengantar sebotol minyak tanah untuk Ibu dan Bapak....

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Lebih Dari Jawaban Doa

Berkat bagi Bangsa

Tuhan yang Adil